Pemberhentian Sepihak Guru Honorer SMP Nasional Tuai Protes



SUARA HUKUM - Pada hari Selasa, 9 Juli 2024, dunia pendidikan di SMP Nasional diwarnai dengan sebuah insiden yang menuai perhatian luas. Kepala sekolah secara sepihak memberhentikan seorang guru honorer berinisial DR tanpa memberikan pemberitahuan atau alasan yang jelas, serta tanpa mengikuti prosedur administrasi yang seharusnya. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya dan protes dari berbagai pihak, termasuk DR sendiri, yang merasa dirugikan oleh tindakan yang diambil oleh pihak sekolah.


Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat beberapa alasan yang diajukan oleh kepala sekolah terkait pemberhentian DR. Pertama, diketahuinya adanya penurunan jumlah siswa pada saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Penurunan ini dinyatakan sebagai faktor utama yang mempengaruhi keputusan untuk mengurangi jumlah tenaga pengajar, termasuk guru honorer. Kedua, kepala sekolah mengemukakan bahwa guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sedang mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG), yang mengharuskan mereka untuk menghabiskan waktu lebih banyak dalam proses pembelajaran, sehingga jam mengajar yang tersedia menjadi terbatas. Terakhir, kepala sekolah menilai bahwa hari mengajar DR tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan.


Menanggapi keputusan tersebut, DR menyampaikan keberatan yang mendalam. Dia berargumen bahwa jika memang ada kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya, seharusnya dia diberikan Surat Peringatan (SP) terlebih dahulu untuk melakukan evaluasi kinerja. Hal ini dianggap sebagai langkah yang lebih adil dan konstruktif untuk meningkatkan kualitas pengajarannya ke depannya. Selain itu, DR juga mempertanyakan alasan pengorbanan satu guru honorer di tengah masih banyaknya guru honorer lain angkatan yang sama yang dapat terkena dampak serupa. Dari sudut pandangnya, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan potensi dan kontribusi yang dia berikan selama mengajar.


DR juga menegaskan bahwa meskipun ada guru MGMP yang kurang jam mengajar akibat mengikuti PPG, masih terdapat sisa jam yang dapat dia isi tanpa harus dinyatakan non-aktif. Pernyataan ini menunjukkan bahwa DR berusaha untuk tetap berkontribusi dalam proses belajar mengajar di sekolah, meskipun dalam situasi yang sulit. Dia merasa bahwa keputusan kepala sekolah tidak mencerminkan pertimbangan yang objektif dan adil terhadap situasi yang dihadapinya.



Menurut DR, secara etika tindakan kepala sekolah ini kurang pantas karena dilakukan tanpa saksi, hanya berdua di dalam ruangan, dan dilakukan secara lisan tanpa surat pemberhentian resmi. Kepala sekolah juga menyatakan bahwa pemberhentian ini dilakukan atas kesepakatan guru-guru, namun DR merasa seakan-akan telah melakukan kesalahan fatal dan dipecat secara tidak hormat. 


DR sudah mencoba menghubungi kepala sekolah kembali melalui pesan WA dengan harapan masih ada sisa jam mengajar yang kosong yang bisa diisi sementara, namun belum ada respons yang memadai.


Dalam hal ini, DR memohon bantuan dari Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk memfasilitasi dan melakukan mediasi antara DR dan pihak sekolah. Permohonan yang disampaikan DR hanya berupa bantuan secara lisan, bukan secara tertulis, sehingga Kabid Pusat Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan tidak dapat membantu banyak untuk memfasilitasi dan mediasi antara pihak guru dengan pihak sekolah. DR berharap ada penyelesaian yang adil dan bijaksana dari pihak Dinas Pendidikan Kota Bandung terkait masalah ini.


Dalam konteks yang lebih luas, insiden ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak guru honorer di Indonesia. Banyak dari mereka yang mengabdikan diri dengan penuh dedikasi namun sering kali terjebak dalam kebijakan yang tidak transparan dan tidak adil. Keberadaan mereka sering kali dipandang sebelah mata, dan keputusan sepihak seperti ini dapat berdampak besar terhadap motivasi dan kesinambungan karier mereka di dunia pendidikan.


Pihak sekolah hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi mengenai pernyataan DR. Namun, insiden ini mengundang perhatian dan kritik dari berbagai kalangan, termasuk organisasi guru dan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Banyak yang berharap agar masalah ini dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik, demi menjaga kepentingan pendidikan dan menghargai peran serta kontribusi guru honorer seperti DR. Ombudsman Jawa Barat siap mengawal kejadian ini.


Ke depan, penting bagi pihak sekolah untuk menerapkan kebijakan yang lebih transparan dan adil, serta melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada karier mereka. Hal ini tidak hanya akan memberikan rasa keadilan bagi para guru honorer, tetapi juga akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik bagi siswa. Keberlangsungan pendidikan yang berkualitas sangat bergantung pada keberadaan guru-guru yang kompeten dan termotivasi, yang harus dilindungi dan dihargai kontribusinya.***

Post a Comment

أحدث أقدم